I.
PENDAHULUAN
Bagi setiap orang Islam yang sudah mampu, beribadah haji hukumnya
wajib. Berhaji berarti berupaya menyempurnakan posisi kehambaan di hadapan
Allah SWT. Maka siapa pun yang ingin berhaji hendaklah ia mempersiapkan dirinya
untuk memenuhi kebutuhannya untuk berhaji, baik dari segi material mau pun
spiritual. Ketika membicarakan haji sebagai salah satu rukun Islam yang kelima
bagi orang yang sudah mampu melaksanakannya. Mampu atau istitha’ah merupakan
salah satu syarat melaksanakan ibadah haji. Maka kata mampu inilah yang menjadi
permasalahan yang masih diperdebatkan. Kemudian ketika biaya ibadah haji
menjadi permasalahan bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah, dikarenakan ONH
(Ongkos Naik Haji) dari tahun ke tahun bertambah mahal, maka disuatu
masyarakat, muncullah suatu sistem, yakni haji dengan sistem arisan dan haji
dengan sistem MLM (Multi Level Marketing).[1]
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
Arti Istitha’ah (Mampu) yang Menjadi Syarat Wajib Haji?
2.
Bagaimana
Hukum Haji Dengan Sistem Arisan?
3.
Bagaimana
Hukum Haji Dengan Sistem MLM (Multi Level Marketing)?
III.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Istitha’ah (Mampu) yang Menjadi Syarat Wajib Haji
Secara sepakat
para ulama mazhab menetapkan bahwa istitha’ah atau mampu itu merupakan syarat
kewajiban haji, Sesuai firman Allah SWT:
ولله على الناس حج البيت من استطاع اليه سبيلا (97)
“Dan (diantara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah
melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan
perjalanan kesana.” (Q.S Ali Imran: 97). [2]
Pengertian
“mampu” Rasulullah SAW menjelaskan bahwa adanya bekal dan kendaraan. Sedang
mampu (istitha’ah) ada perbedaan penafsiran di kalangan Ulama. Menurut Rasyid
dan Muhammad Abduh, bahwa istitha’ah itu mampu untuk sampai ke Baitullah dan
kemampuan itu berbeda-beda bagi tiap orang, tergantung kepada jauh atau
dekatnya dari Baitullah dan kondisinya masing-masing. Tetapi kebanyakan Ulama
menafsirkan istitha’ah dengan mempunyai bekal haji dan biaya transportasi
pulang pergi di samping nafkah untuk keperluan keluarga yang ditinggalkan.[3]
Bahtsul Masail
Diniyah Waqiiyyah pada Muktamar ke-28 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren
Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta pada 26-29 Rabiul Akhir 1410 H/25-28 November
1989 M,menyatakan bahwa haji yang dilakukan oleh orang yang belum memenuhi
syarat istitha’ah tetap sah hukumnya.
“Barang siapa yang belum memenuhi syarat istitha’ah maka tidak
wajib baginya berhaji, namun jika dia melakukannya maka itu tetap diperbolehkan
(Asy Syarqowi juz 1, hlm 460)
Hal ini dapat
dikiaskan dengan kebolehan orang yang sakit untuk tetap melakukan shalat jumat,
padahal sebenarnya ia tidak wajib melaksanakannya.
Sah haji orang fakir dan semua orang yang tidak mampu selama ia
termasuk orang merdeka dan mukallaf (muslim, berakal, dan baligh). Sah orang
yang sakit melaksanakan diri untuk melakikan shalat jumat.[4] (NIHAYATUL MUHTAJ JUZ II. HAL, 233)
2.
Hukum Haji Dengan Sistem Arisan
A.
Hukum
yang Memperbolehkan
Pengertian Arisan Di dalam beberapa
kamus disebutkan bahwa Arisan adalah pengumpulan uang atau barang yang bernilai
sama oleh beberapa orang, lalu diundi diantara mereka. Undian tersebut
dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya.[5] Hukum
Arisan Secara Umum, termasuk muamalat yang belum pernah disinggung di dalam Al
Qur’an dan as Sunnah secara langsung, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum
asal muamalah, yaitu dibolehkan. Para ulama menyebutkan hal tersebut dengan
mengemukakan kaedah fikih yang berbunyi :
الأصل في العقود والمعاملات الحل و الجواز
“ Pada dasarnya hukum transaksi dan muamalah itu adalah halal dan boleh “
Berkata Ibnu Taimiyah di dalam
Majmu’ al Fatawa: “Tidak boleh mengharamkan muamalah yang dibutuhkan manusia
sekarang, kecuali kalau ada dalil dari al Qur’an dan Sunnah tentang
pengharamannya“ Para ulama tersebut berdalil dengan al Qur’an dan Sunnah
sebagai berikut :
Firman Allah swt:
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَة
“ Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmatNya yang nampak maupun yang tidak nampak.” ( Qs Luqman : 20)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah
swt memberikan semua yang ada di muka bumi ini untuk kepentingan manusia, para
ulama menyebutnya dengan istilah ( pemberian ). Oleh karenanya, segala sesuatu
yang berhubungan dengan muamalat pada asalnya hukumnya adalah mubah kecuali ada
dalil yang menyebutkan tentang keharamannya. Dalam masalah “ arisan “
tidak kita dapatkan dalil baik dari al Qur’an maupun dari as Sunnah yang
melarangnya, berarti hukumnya mubah atau boleh.
Hadist Abu Darda’ ra, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda :
ما أحل الله في كتابه فهو حلال وما حرم فهو حرام وما سكت عنه فهو عفو فاقبلوا من الله عافيته فإن الله لم يكن لينسى شيئاً وتلا قوله تعالى :( وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا )
“ Apa yang dihalalkan Allah di dalam kitab-Nya, maka hukumnya halal, dan apa yang diharamkannya, maka hukumnya haram. Adapun sesuatu yang tidak dibicarakannya, maka dianggap sesuatu pemberian, maka terimalah pemberiannya, karena Allah tidaklah lupa terhadap sesuatu. “ ( HR al Hakim, dan beliau mengatakan shahih isnadnya, dan disetujui oleh Imam Adz Dzahabi )
Hadist di atas secara jelas menyebutkan bahwa sesuatu (
dalam muamalah ) yang belum pernah disinggung oleh Al Qur’an
dan Sunnah hukumnya adalah ( pemberian ) dari Allah atau sesuatu
yang boleh. Firman Allah swt :
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“ Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.“ (Qs Al-Maidah:2)
Ayat di atas memerintahkan kita untuk saling tolong menolong di
dalam kebaikan, sedang tujuan “arisan” itu sendiri adalah menolong orang yang
membutuhkan dengan cara iuran secara rutin dan bergiliran untuk mendapatkannya,
maka termasuk dalam katagori tolong menolong yang diperintahkan Allah swt. Hadits Aisyah ra, ia
berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَطَارَتْ الْقُرْعَةُ عَلَى عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ فَخَرَجَتَا مَعَهُ جَمِيعًا
"Rasullulah SAW apabila pergi, beliau mengadakan undian di antara istri-istrinya, lalu jatuhlah undian itu pada Aisyah dan Hafsah, maka kami pun bersama beliau." ( HR Muslim)
Hadist
di atas menunjukkan kebolehan untuk melakukan undian, tentunya yang tidak
mengandung perjudian dan riba. Di dalam arisan juga terdapat undian yang tidak
mengandung perjudian dan riba, maka hukumnya boleh.
Pendapat para ulama tentang arisan, diantaranya
adalah pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syek Ibnu Jibrin
serta mayoritas ulama-ulama senior Saudi Arabia. Syekh Ibnu Utsaimin
berkata: “Arisan hukumnya adalah boleh, tidak terlarang. Barangsiapa mengira
bahwa arisan termasuk kategori memberikan pinjaman dengan mengambil manfaat
maka anggapan tersebut adalah keliru, sebab semua anggota arisan akan
mendapatkan bagiannya sesuai dengan gilirannya masing-masing”.[6]
Pada dasarnya arisan
dibenarkan, sedang arisan haji karena berubah-ubah ONHnya maka dalam hal ini
terdapat perbedaan pendapat, tentsang hajinya tetap sah,
musyawirin dalam muktamar itu sempat menyorot praktik yang sama seperti
digambarkan dalam kitab Hasyiah al-Qulyubi : II/38 dijelaskan.[7]
(فرع)
الجماعةالمشهورة بين النساءبأن تأخذامرأة من كل واحدمن جمماعة منهن قدرا معينافي
كل جمعة وتدفعه لواحدة بعد واحدة ألى اخرمن جائزة. كماقال الوالي العراقي
.(القليوبي )
“Ada kelompok wanita di
Irak yang masing-masing mengeluarkan sejumlah uang tertentu dan memberikannya
kepada salah seorang dari mereka secara bergantian sampai giliran yang
terakhir.
Maka
yang demikian itu diperbolehkan oleh penguasa Irak waktu itu.
Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta. Di antara usaha-usaha yang
dilakukan oleh sebagian umat Islam untuk mendapatkan uang yang memungkinkan mereka melaksanakan ibadah haji ke Baitullah adalah
dengan cara menyelenggarakan atau mengikuti Arisan Haji, yaitu suatu akad yang
dilakukan oleh beberapa orang Islam secara suka rela untuk bersama-sama
menabung uang dalarn jumlah yang telah disepakati guna membayar Ongkos Naik
Haji (ONH) atau Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH), dengan perjanjian lebih
kurang sebagai berikut:
a.
Setiap
anggota Arisan harus menabung (membayar) uang dalam jumlah yang telah
disepakati bersama pada setiap bulannya hingga mencapai jumlah yang cukup untuk
membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) yang ditetapkan oleh pemerintah.
b.
Setiap
tahun pada saat pendaftaran calon jamaah haji mulai dibuka, para anggota Arisan
berkumpul guna menghitung jumlah uang yang berhasil dikumpulkan. Setelah
diketahui, bahwa uang yang berhasil dikumpulkan oleh anggota Arisan cukup untuk
membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) sekian orang anggota Arisan, maka
dilakukan undian untuk mengetahui siapa saja anggota Arisan yang berhak
menunaikan ibadah haji pada tahun itu dengan biaya yang telah dikumpulkan dari
Arisan tersebut.
c.
Anggota
Arisan yang berhasil memenangkan undian yang dilakukan secara terbuka sesuai
dengan cara-cara yang lazim dilakukan dalam undian arisan yang telah disepakati
bersama, berhak menunaikan ibadah haji pada tahun itu dengan biaya yang telah
dikumpulkan dari Arisan tersebut, sekalipun pada hakikatnya uang simpanan si
pemenang undian tersebut belum mencapai BPIH yang ditetapkan pemerintah.
d.
Selisih
jumlah uang yang diterima oleh pemenang undian untuk membayar Biaya Perjalanan Ibadah
Haji (BPIH) dengan jumlah uang tabungan yang disimpannya pada arisan, merupakan
hutang (pinjaman) kepada para anggota arisan yang harus dibayarnya secara
berangsur-angsur melalui tabungan tiap bulan sampai jumlah hutangnya terlunasi.
e.
Selanjutnya
pada tahun berikutnya atau pada waktu yang telah disepakati bersama, dilakukan
pula undian untuk memberangkatkan anggota berikutnya, sampai secara
berangsur-angsur seluruh anggota Arisan diberangkatkan ke tanah suci guna
melaksana-kan ibadah haji.[8]
B.
Hukum
yang Tidak Memperbolehkan
Untuk
mempertegas makna istitha'ah, para pakar hukum Islam (fuqaha') telah
menerangkan di dalam kitab-kitab fiqih, bahwa jika seseorang yang belum
memiliki kemampuan (istitha'ah) untuk melaksanakan ibadah haji ditawari hadiah Biaya
Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) oleh lain, maka dia tidak wajib menerima hadiah
tersebut.
Arisan Haji
untuk membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) dengan tata cara sebagaimana
disebutkan di atas atau yang serupa adalah dilarang oleh agama Islam, karena
alasan-alasan sebagai berikut:
a.
Arisan
Haji dengan pola sebagaimana disebutkan di atas atau sesamanya adalah sama dan
tidak berbeda dengan berhutang kepada orang lain. sehingga memberatkan diri
sendiri atau keluarga yang ditinggalkan jika ia wafat. Padahal Rasulullah SAW
telah melarang seseorang berhutang atau meminjam uang kepada orang lain untuk
membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH). Sebagaimana disebutkan dalam
hadits yang diriwayatkan Imam Baihaqi:
عَنْ طَارِقٍ قَالَ سَمِعْتُ بْنَ أَبِيْ أَوْفَى يَسْأَلُ عَنِ الرَّجُلِ يَسْتَقْرِضُ وَيَحُجُّ قَالَ يَسْتَرْزِقُ اللهُ وَلاَ يَسْتَقْرِضُ قَالَ وَكُنَّا نَقُوْلُ لاَ يَسْتَقْرِضُ إِلاَّ أَنْ يًكُوْنَ لَهُ وَفَاءٌ
( رواه البيهقي)
"Sahabat Thariq berkata: Saya telah mendengar sahabat yang bernama Abdullah ibn Abi Aufa bertanya kepada Rasulullah SAW tentang seseorang yang tidak sanggup naik haji apakah dia boleh meminjam uang untuk menunaikan ibadah haji? Nabi menjawab:Tidak boleh. (HR Baihaqi)
Menurut Kitab Al-Muhadzdzab bahwa seseorang yang berharta lalu
kuasa berhajji maka ia harus berhaji. Tapi orang yang berharta tetapi mempunyai
hutang yang harus segera dibayar, maka baginya harus membayar hutangnya, dan
tidak wajib berhaji. Berhaji seharusnya dan wajib dilaksanakan dengan perasaaan
senang, dengan ketentuan mendahulukan membayar hutang daripada melaksanakan
hajinya.[9]
b.
Arisan
Haji dengan pola sebagaimana disebutkan di atas atau yang serupa mengandung
unsur gharar (kesamaran dan ketidak-jelasan) karena tidak ada jaminan bahwa
orang-orang yang telah memenangkan undian Arisan Haji mampu membayar lunas sisa
arisan yang menjadi tanggungannya. Bagaimana jika orang-orang yang telah
me-menangkan undian Arisan Haji tertimpa musibah seperti meninggal dunia atau
bangkrut sehingga tidak mampu membayar sisa Arisan Haji yang menjadi
tanggungannya? Apakah dapat dibebaskan sehingga mengakibatkan kerugian bagi
anggota lain yang belum memperoleh kesempatan memenangkan undian? Atau
dibebankan kepada keluarganya sehingga menimbulkan mudlarat bagi anggota keluarga
yang tidak tahu menahu soal Arisan Haji? Sehubungan dengan hal itu, Rasulullah
SAW bersabda:
عَنْ عَمْرٍو بْنِ يَحْيَى اْلمَازِنِي عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ ضَرَرَ وَلاَضِرَارَ( رواه مالك
"Dari 'Amr bin Yahya al-Mazini dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW bersabda: (Seseorang) tidak boleh melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri atau merugikan orang lain",
c.
Pada
hakikatnya, seseorang yang telah berhasil memenangkan undian Arisan Haji
sehingga berhak menunaikan ibadah haji dengan biaya yang diperoleh dari uang
arisan adalah berhutang uang kepada para anggota arisan lainnya. Pinjaman
tersebut harus dibayar lunas, meskipun secara berangsur-angsur sesuai dengan
aturan-aturan dalam arisan. Jika ia meninggal dunia atau jatuh bangkrut sebelum
membayar lunas uang arisan, maka ia akan memikul beban hutang yang sangat
berat. Karena hutang yang belum terbayar akan menjadi beban hingga di akhirat.
d.
Seseorang
yang akan menunaikan ibadah haji harus membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji
(BPIH); mempunyai biaya hidup yang cukup selama berada di tanah suci; serta
biaya keluarga yang ditinggalkan di tanah air dengan uang yang diperoleh secara
halal, suci dan bersih dari segala sesuatu yang mengotorinya. Sebab jika uang
tersebut diperoleh dari sumber yang tidak halal atau tidak suci dan tidak
bersih, maka tidak akan diterima oleh Allah swt sehingga tidak akan meraih haji
mabrur.
Dari uraian diatas, jelas bahwa kewajiban haji itu, hanya berlaku
bagi orang yang sanggup membayar BPIH. Maka seorang muslim yang memaksakan
dirinya untuk menunaikan ibadah haji, padahal ia tidak mampu, misalnya dengan
cara mengikuti arisan haji dan ia mendapatkan uang arisan pada putaran–putaran
awal, maka hukumnya minimal makruh bahkan bisa juga haram, karena ongkos
hajinya itu berasal dari uang yang dipinjamkan oleh anggota arisan lainnya.
Jadi ia berangkat haji dengan berhutang. Sementara ia sendiri belum terkena
khitab wajib haji.[10]
3.
Hukum Haji Dengan Sistem MLM (Multi Level Marketing)
Pengertian Multi Level Marketing
atau disingkat MLM adalah sebuah sistem pemasaran modern melalui jaringan
distribusi yang dibangun secara permanen dengan memposisikan pelanggan
perusahaan sekaligus sebagai tenaga pemasaran. Dengan kata lain, dapat dikemukakan
bahwa MLM adalah pemasaran brjenjang melalui jaringan distribusi yang dibangun
dengan menjadikan konsumen (pelanggan) sekaligus sebagai tenaga pemasaran.[11]
Sistem Multi Level Marketing (at-Taswieq Muta’addid ath-Thobaqaat)
atau Network Marketing
(at-Taswieq asy-Syabaki) yang
beroperasi sesuai dengan Pyramid scheme
(at-Tanzhim al-Harami). Jenis
marketing seperti ini nampaknya merupakan rekayasa perniagaan (Business fraud).
Sistem pyramide/ Pyramid scheme ini telah mendapatkan
perhatian serius dari para ulama dan juga pakar bisnis ekonomi dunia. Ternyata
kesimpulannya banyak yang memperingatkan bahaya jenis bisnis ini karena berisi
suatu yang memperdaya para pengikutnya, lalu menjadikan mereka memiliki
kekayaan yang singkat dan cepat sebagai imbalan dari pembayaran yang sedikit
dan terbatas. Namun akhirnya harta tersebut masuk semuanya kepada pemilik
perusahaan dan bisnis ini. Sedangkan anggotanya tidak mendapatkan kecu.ali fatamorgana.
Oleh karena itu banyak sekali
peraturan perundangan dari banyak Negara yang melarang sistem pyramid (Pyramid scheme) dengan semua
bentuknya. Demikian juga perangkat resmi banyak Negara memperingatkan
masyarakat dari terjerumus dalam perangkap jaringan bisnis seperti ini setelah
dibungkus dengan bentuk yang sangat menarik dengan propaganda bahwa ini adalah
kesempatan pemasaran produksi yang berguna bagi masyarakat, baik dalam bidang
pendidikan atau lainnya.[12] An-Nisa’
ayat 29
“Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang bathil, kecuali demgan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu.
Jakarta(Pinmas)–Direktur Pembinaan
Haji Kementerian Agama Ahmad Kartono mengingatkan masyarakat agar tidak
terpikat oleh penyelenggara ibadah haji atau umrah dengan sistem multi level
marketing (MLM) atau sistem berantai. Karena sistem yang banyak berkembang
belakangan ini memiliki potensi penipuan yang sering dimanfaatkan oknum yang
tidak bertanggung jawab.
Ada pihak yang bisa berangkatkan
umrah Rp 2,5 juta, haji Rp 5 juta dengan cara berantai. Menurut Ahmad Kartono,
minat masyarakat untuk menunaikan ibadah umrah atau haji melalui MLM karena
mereka terpikat oleh biaya yang murah dibanding dengan biaya haji atau umrah
secara resmi. Padahal dengan cara berantai atau arisan ini lebih banyak orang
yang kecewa.
Sementara itu, Ketua Umum HIMPUH
(Himpunan Muslim Penyelenggara Umrah dan Haji) Baluki Ahmad menambahkan, saat
ini ada pola atau modus baru sebuah biro perjalanan menggaet calon jamaah haji
melalui cara MLM. ” Mereka mengumpulkan masyarakat dengan iming-iming biaya
murah bisa pergi haji. Padahal travel ini tidak ada izinnya.
Baluki juga berharap agar masyarakat
untuk tidak terbujuk travel yang menawarkan paket perjalanan haji dan umroh
dengan biaya semurah mungkin. Sebab, saat ini sudah tidak masuk akal dengan
melihat kondisi eksternal, seperti naiknya biaya penginapan, transportasi dan
juga harga minyak mentah dunia.
MLM seperti money game. Ini masukan
kita ke Kementerian Agama. Karena kami diayomi undang-undang, harus dapat
perlindungan, jadi MLM janagan dibiarkan.[13]
Ketua Umum PP Ikatan Persaudaraan
Haji Indonesia (IPHI) H. Kurdi Mustofa mengimbau umat muslim agar tak tergiur
menunaikan ibadah haji atau berumrah dengan memanfaatkan multilevel marketing
(MLM). Selain dapat menyesatkan, juga menyalahi tuntunan cara beribadah dengan
baik. "Berhaji itu harus istitoah.[14]
Beberapa pakar dan pengamat ada yang berpendapat bahwa praktik yang dilakukan
oleh perusahaaan MLM hukumnya haram, karena mengandung unsur perjudian dan
ketidakpastian, sebagian yang lain memandang sebagai syubat.[15]
IV.
KESIMPULAN
Secara sepakat para ulama mazhab menetapkan bahwa istitha’ah atau
mampu itu merupakan syarat kewajiban haji, kebanyakan Ulama menafsirkan
istitha’ah dengan mempunyai bekal haji dan biaya transportasi pulang pergi di
samping nafkah untuk keperluan keluarga yang ditinggalkan.
Hukum haji dengan sistem arisan memiliki dua hukum, ada yang memperbolehkan
dan ada pula yang melarangnya. Yang memperbolehkan jika:
a.
Setiap
anggota Arisan harus menabung (membayar) uang dalam jumlah yang telah
disepakati bersama untuk membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) yang
ditetapkan oleh pemerintah.
b.
Setiap
tahun pada saat pendaftaran calon jamaah haji mulai dibuka, maka dilakukan
undian untuk mengetahui siapa saja anggota Arisan yang berhak menunaikan ibadah
haji.
c.
Anggota
Arisan yang berhasil memenangkan undian yang dalam undian arisan yang telah
disepakati bersama, berhak menunaikan ibadah haji pada tahun itu.
d.
Selisih
jumlah uang yang diterima oleh pemenang undian untuk membayar Biaya Perjalanan
Ibadah Haji (BPIH) dengan jumlah uang tabungan yang disimpannya pada arisan,
merupakan hutang (pinjaman) kepada para anggota arisan, dan hrus diangsur untuk
melunasinya.
e.
Selanjutnya
pada tahun berikutnya atau pada waktu yang telah disepakati bersama, dilakukan
pula undian untuk memberangkatkan anggota berikutnya, sampai secara
berangsur-angsur seluruh anggota Arisan diberangkatkan ke tanah suci guna
melaksana-kan ibadah haji.
Dan yang tidal memperbolehkan jika:
a.
Arisan
Haji adalah sama dan tidak berbeda dengan berhutang kepada orang lain. sehingga
memberatkan diri sendiri atau keluarga yang ditinggalkan jika ia wafat. Padahal
Rasulullah SAW telah melarang seseorang berhutang atau meminjam uang kepada
orang lain untuk membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).
b.
Arisan
Haji yang serupa mengandung unsur gharar (kesamaran dan ketidak-jelasan) karena
tidak ada jaminan bahwa orang-orang yang telah memenangkan undian Arisan Haji
mampu membayar lunas sisa arisan yang menjadi tanggungannya.
c.
Seseorang
yang telah berhasil memenangkan undian Arisan Haji adalah berhutang uang kepada
para anggota arisan lainnya. Meskipun secara berangsur-angsur sesuai dengan
aturan-aturan dalam arisan. Jika ia meninggal dunia atau jatuh bangkrut sebelum
membayar lunas uang arisan, maka ia akan memikul beban hutang yang sangat
berat. Karena hutang yang belum terbayar akan menjadi beban hingga di akhirat.
d.
Seseorang
yang akan menunaikan ibadah haji harus membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji
(BPIH); mempunyai biaya yang diperoleh secara halal, suci dan bersih dari segala
sesuatu yang mengotorinya. Sebab jika uang tersebut diperoleh dari sumber yang
tidak halal atau tidak suci dan tidak bersih, maka tidak akan diterima oleh
Allah swt sehingga tidak akan meraih haji mabrur.
e.
Kewajiban
haji itu, hanya berlaku bagi orang yang sanggup membayar BPIH. Maka seorang
muslim yang memaksakan dirinya untuk menunaikan ibadah haji, misalnya dengan
arisan haji dan ia mendapatkan uang arisan pada putaran–putaran awal, maka
hukumnya minimal makruh bahkan bisa juga haram, karena berasal dari uang yang
dipinjamkan oleh anggota arisan lainnya. Jadi ia berangkat haji dengan
berhutang. Sementara ia sendiri belum terkena khitab wajib haji.
Hukum haji dengan sistem MLM (Multi Level Marketing). Beberapa
pakar dan pengamat ada yang berpendapat
bahwa praktik yang dilakukan oleh perusahaaan MLM hukumnya haram, karena
mengandung unsur perjudian dan ketidakpastian, sebagian yang lain memandang
sebagai syubat.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Waardi
Muslich, Fikih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010)
Djamaluddin Miri, Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam, (Surabaya: LTN NU Jawa Timur dan Diantama, 2004)
http://koranmuslim.com/2011/masyarakat-agar-tidak-terpikat-haji-atau-umrah-mlm/
http://ppnuruliman.com/artikel/fikih/402-hukum-arisan-dalam-islam.html
http://ustadzkholid.com/tanya-ustadz/fiqih-tanya-ustadz/ongkos-naik-haji-dengan-sistem-mlm/
http://www.e-infad.my/i- fms/index.php?option=com_fatwa&task=viewlink&link_id=2958&Itemid=48
http://www.mail-archive.com/keluarga-islam@yahoogroups.com/msg16296.html
http://www.tempointeraktif.com/hg/wartahaji_tips/2011/09/30/brk,20110930-359197,id.html
Husein
Bahreis,, Himpunan Fatwa, (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1987)
Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta:
CV Haji Masagung, 1991)
Muhammad Jawad
Mughniyah, Fiqih Lima Mahzhab, (Jakarta: Lentera, 2001)
Poerwadarminta,
Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999)
[1] http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--wahyurinau-3793
[2]
Muhammad Jawad
Mughniyah, Fiqih Lima Mahzhab, (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 206
[3]
Masyfuk Zuhdi, Masail
Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1991),
hlm. 283
[4] http://www.mail-archive.com/keluarga-islam@yahoogroups.com/msg16296.html
[5]
Poerwadarminta,
Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm. 57
[6] http://ppnuruliman.com/artikel/fikih/402-hukum-arisan-dalam-islam.html
[7]
Djamaluddin
Miri, Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, (Surabaya:
LTN NU Jawa Timur dan Diantama, 2004), hlm. 431
[8] http://www.e-infad.my/i- fms/index.php?option=com_fatwa&task=viewlink&link_id=2958&Itemid=48
[9] Husein
Bahreis,, Himpunan Fatwa, (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1987), hlm. 255
[10]
Ibid.,
[11]
Ahmad Waardi
Muslich, Fikih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 613
[13] http://koranmuslim.com/2011/masyarakat-agar-tidak-terpikat-haji-atau-umrah-mlm/
[14] http://www.tempointeraktif.com/hg/wartahaji_tips/2011/09/30/brk,20110930-359197,id.html
[15] Ahmad Waardi
Muslich, Op.Cit., hlm. 619
1. PT. Arminareka Perdana tidak mengenal TUTUP POINT dan tidak mengharuskan untuk membayar CICILAN tiap bulan, PT. Arminareka Perdana tidak memberikan DEADLINE PELUNASAN, jamaah tetap ditunggu sampai jamaah mampu melunasi biaya/ongkos Paket Umroh/Haji Plus yang dipilih.
BalasHapus2. Formasi downline-upline sebagaimana digambarkan pada Marketing Plan, digunakan untuk membedakan siapa yang mempromosikan dan siapa yang direferensikan sebagai dasar pemberian komisi sebagai imbal jasa bagi jamaahnya yang telah mempromosikan PT. Arminareka Perdana kepada para jamaah yang telah direferensikannya, sebagai dasar pemberian reward bagi jamaah yang berhasil mereferensikan jamaah lainnya dengan jumlah minimal tertentu dan pada batas waktu yang tertentu pula, dan sebagai dasar pemberian penghargaan program kesejahteraan jamaah atas prestasi yang dicapai jamaah tersebut.
PT. Arminareka Perdana tidak mengenal UANG PENDAFTARAN KEANGGOTAAN. Akad pembayaran yang ada di PT. Arminareka Perdana adalah Akad Pembayaran Biaya/Ongkos Paket Umroh/Haji Plus, baik DP ataupun LUNAS. Dengan membayar DP ataupun LUNAS, secara RESMI telah menjadi jamaah dan secara CUMA-CUMA diberikan HAK USAHA tersebut beserta perlengkapan pendukungnya, sebagai bukti bahwa PT. Arminareka Perdana ingin membantu mewujudkan niat kita untuk pergi ke Tanah Suci, baik Umroh/Haji Plus, membantu meningkatkan taraf hidup jamaah, serta memberikan solusi. Akan tetapi, PT. Arminareka Perdana tidak mengharuskan setiap jamaahnya untuk menjalankan hak usaha tersebut. Hak Usaha tersebut hanya diperuntukkan bagi para jamaah yang menghendaki membayar cicilan dengan tenaga/usahanya. Hak Usaha tersebut berlaku selamanya (selama PT. Arminareka Perdana masih eksis) dan bisa dihibahkan ataupun diwariskan. CP. 0813 6915 9374
BalasHapus