Jumat, 18 Mei 2012

HUKUM HAJI DENGAN SISTEM ARISAN DAN MLM (Multi Level Marketing)


       I.            PENDAHULUAN
Bagi setiap orang Islam yang sudah mampu, beribadah haji hukumnya wajib. Berhaji berarti berupaya menyempurnakan posisi kehambaan di hadapan Allah SWT. Maka siapa pun yang ingin berhaji hendaklah ia mempersiapkan dirinya untuk memenuhi kebutuhannya untuk berhaji, baik dari segi material mau pun spiritual. Ketika membicarakan haji sebagai salah satu rukun Islam yang kelima bagi orang yang sudah mampu melaksanakannya. Mampu atau istitha’ah merupakan salah satu syarat melaksanakan ibadah haji. Maka kata mampu inilah yang menjadi permasalahan yang masih diperdebatkan. Kemudian ketika biaya ibadah haji menjadi permasalahan bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah, dikarenakan ONH (Ongkos Naik Haji) dari tahun ke tahun bertambah mahal, maka disuatu masyarakat, muncullah suatu sistem, yakni haji dengan sistem arisan dan haji dengan sistem MLM (Multi Level Marketing).[1]

    II.            RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Arti Istitha’ah (Mampu) yang Menjadi Syarat Wajib Haji?
2.      Bagaimana Hukum Haji Dengan Sistem Arisan?
3.      Bagaimana Hukum Haji Dengan Sistem MLM (Multi Level Marketing)?

 III.            PEMBAHASAN
1.      Pengertian Istitha’ah (Mampu) yang Menjadi Syarat Wajib Haji
Secara sepakat para ulama mazhab menetapkan bahwa istitha’ah atau mampu itu merupakan syarat kewajiban haji, Sesuai firman Allah SWT:
ولله على الناس حج البيت من استطاع اليه سبيلا (97)
“Dan (diantara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan kesana.” (Q.S Ali Imran: 97). [2]
Pengertian “mampu” Rasulullah SAW menjelaskan bahwa adanya bekal dan kendaraan. Sedang mampu (istitha’ah) ada perbedaan penafsiran di kalangan Ulama. Menurut Rasyid dan Muhammad Abduh, bahwa istitha’ah itu mampu untuk sampai ke Baitullah dan kemampuan itu berbeda-beda bagi tiap orang, tergantung kepada jauh atau dekatnya dari Baitullah dan kondisinya masing-masing. Tetapi kebanyakan Ulama menafsirkan istitha’ah dengan mempunyai bekal haji dan biaya transportasi pulang pergi di samping nafkah untuk keperluan keluarga yang ditinggalkan.[3]
Bahtsul Masail Diniyah Waqiiyyah pada Muktamar ke-28 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta pada 26-29 Rabiul Akhir 1410 H/25-28 November 1989 M,menyatakan bahwa haji yang dilakukan oleh orang yang belum memenuhi syarat istitha’ah tetap sah hukumnya.
“Barang siapa yang belum memenuhi syarat istitha’ah maka tidak wajib baginya berhaji, namun jika dia melakukannya maka itu tetap diperbolehkan (Asy Syarqowi juz 1, hlm 460)
Hal ini dapat dikiaskan dengan kebolehan orang yang sakit untuk tetap melakukan shalat jumat, padahal sebenarnya ia tidak wajib melaksanakannya.
Sah haji orang fakir dan semua orang yang tidak mampu selama ia termasuk orang merdeka dan mukallaf (muslim, berakal, dan baligh). Sah orang yang sakit melaksanakan diri untuk melakikan shalat jumat.[4] (NIHAYATUL MUHTAJ JUZ II. HAL, 233)
2.      Hukum Haji Dengan Sistem Arisan
A.    Hukum yang Memperbolehkan
Pengertian Arisan Di dalam beberapa kamus disebutkan bahwa Arisan adalah pengumpulan uang atau barang yang bernilai sama  oleh beberapa orang, lalu diundi diantara mereka. Undian tersebut dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya.[5] Hukum Arisan Secara Umum, termasuk muamalat yang belum pernah disinggung di dalam Al Qur’an dan as Sunnah secara langsung, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal muamalah, yaitu dibolehkan. Para ulama menyebutkan hal tersebut dengan mengemukakan kaedah fikih yang berbunyi  :

الأصل في العقود والمعاملات الحل و الجواز

“ Pada dasarnya hukum transaksi dan muamalah itu adalah halal dan boleh “

Berkata Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ al Fatawa: “Tidak boleh mengharamkan muamalah yang dibutuhkan manusia sekarang, kecuali kalau ada dalil dari al Qur’an dan Sunnah tentang pengharamannya“ Para ulama tersebut berdalil dengan al Qur’an dan Sunnah sebagai berikut :
Firman Allah swt:

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَة

“ Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmatNya yang nampak maupun yang tidak nampak.” ( Qs Luqman : 20)

Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah swt memberikan semua yang ada di muka bumi ini untuk kepentingan manusia, para ulama menyebutnya dengan istilah ( pemberian ). Oleh karenanya, segala sesuatu yang berhubungan dengan muamalat pada asalnya hukumnya adalah mubah kecuali ada dalil yang menyebutkan tentang keharamannya. Dalam masalah “ arisan “  tidak kita dapatkan dalil baik dari al Qur’an maupun dari as Sunnah yang melarangnya, berarti hukumnya mubah atau boleh.
Hadist Abu Darda’ ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :

ما أحل الله في كتابه فهو حلال وما حرم فهو حرام وما سكت عنه فهو عفو فاقبلوا من الله عافيته فإن الله لم يكن لينسى شيئاً وتلا قوله تعالى :( وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا )
“ Apa yang dihalalkan Allah di dalam kitab-Nya, maka hukumnya halal, dan apa yang diharamkannya, maka hukumnya haram. Adapun sesuatu yang tidak dibicarakannya, maka dianggap sesuatu pemberian, maka terimalah pemberiannya, karena Allah tidaklah lupa terhadap sesuatu. “ ( HR al Hakim, dan beliau mengatakan shahih isnadnya, dan disetujui oleh Imam Adz Dzahabi )
Hadist di atas secara jelas menyebutkan bahwa sesuatu ( dalam muamalah ) yang belum pernah disinggung oleh Al Qur’an dan Sunnah hukumnya adalah ( pemberian ) dari Allah atau sesuatu yang boleh. Firman Allah swt :

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“ Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.“ (Qs Al-Maidah:2)

Ayat di atas memerintahkan kita untuk saling tolong menolong di dalam kebaikan, sedang tujuan “arisan” itu sendiri adalah menolong orang yang membutuhkan dengan cara iuran secara rutin dan bergiliran untuk mendapatkannya, maka termasuk dalam katagori tolong menolong yang diperintahkan Allah swt. Hadits Aisyah ra, ia berkata :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَطَارَتْ الْقُرْعَةُ عَلَى عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ فَخَرَجَتَا مَعَهُ جَمِيعًا

"Rasullulah SAW apabila pergi, beliau mengadakan undian di antara istri-istrinya, lalu jatuhlah undian itu pada Aisyah dan Hafsah, maka kami pun bersama beliau." ( HR Muslim)

Hadist di atas menunjukkan kebolehan untuk melakukan undian, tentunya yang tidak mengandung perjudian dan riba. Di dalam arisan juga terdapat undian yang tidak mengandung perjudian dan riba, maka hukumnya boleh.
Pendapat para ulama tentang arisan, diantaranya adalah pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syek Ibnu Jibrin serta mayoritas ulama-ulama senior Saudi Arabia.  Syekh Ibnu Utsaimin berkata: “Arisan hukumnya adalah boleh, tidak terlarang. Barangsiapa mengira bahwa arisan termasuk kategori memberikan pinjaman dengan mengambil manfaat maka anggapan tersebut adalah keliru, sebab semua anggota arisan akan mendapatkan bagiannya sesuai dengan gilirannya masing-masing”.[6]
Pada dasarnya arisan dibenarkan, sedang arisan haji karena berubah-ubah ONHnya maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, tentsang hajinya tetap sah, musyawirin dalam muktamar itu sempat menyorot praktik yang sama seperti digambarkan dalam kitab Hasyiah al-Qulyubi : II/38 dijelaskan.[7]

(فرع) الجماعةالمشهورة بين النساءبأن تأخذامرأة من كل واحدمن جمماعة منهن قدرا معينافي كل جمعة وتدفعه لواحدة بعد واحدة ألى اخرمن جائزة. كماقال الوالي العراقي .(القليوبي )
“Ada kelompok wanita di Irak yang masing-masing mengeluarkan sejumlah uang tertentu dan memberikannya kepada salah seorang dari mereka secara bergantian sampai giliran yang terakhir. Maka  yang demikian itu diperbolehkan oleh penguasa Irak waktu itu.

Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta. Di antara usaha-usaha yang dilakukan oleh sebagian umat Islam untuk mendapatkan uang yang memungkinkan mereka melaksanakan ibadah haji ke Baitullah adalah dengan cara menyelenggarakan atau mengikuti Arisan Haji, yaitu suatu akad yang dilakukan oleh beberapa orang Islam secara suka rela untuk bersama-sama menabung uang dalarn jumlah yang telah disepakati guna membayar Ongkos Naik Haji (ONH) atau Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH), dengan perjanjian lebih kurang sebagai berikut:
a.       Setiap anggota Arisan harus menabung (membayar) uang dalam jumlah yang telah disepakati bersama pada setiap bulannya hingga mencapai jumlah yang cukup untuk membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) yang ditetapkan oleh pemerintah.
b.      Setiap tahun pada saat pendaftaran calon jamaah haji mulai dibuka, para anggota Arisan berkumpul guna menghitung jumlah uang yang berhasil dikumpulkan. Setelah diketahui, bahwa uang yang berhasil dikumpulkan oleh anggota Arisan cukup untuk membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) sekian orang anggota Arisan, maka dilakukan undian untuk mengetahui siapa saja anggota Arisan yang berhak menunaikan ibadah haji pada tahun itu dengan biaya yang telah dikumpulkan dari Arisan tersebut.
c.       Anggota Arisan yang berhasil memenangkan undian yang dilakukan secara terbuka sesuai dengan cara-cara yang lazim dilakukan dalam undian arisan yang telah disepakati bersama, berhak menunaikan ibadah haji pada tahun itu dengan biaya yang telah dikumpulkan dari Arisan tersebut, sekalipun pada hakikatnya uang simpanan si pemenang undian tersebut belum mencapai BPIH yang ditetapkan pemerintah.
d.      Selisih jumlah uang yang diterima oleh pemenang undian untuk membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) dengan jumlah uang tabungan yang disimpannya pada arisan, merupakan hutang (pinjaman) kepada para anggota arisan yang harus dibayarnya secara berangsur-angsur melalui tabungan tiap bulan sampai jumlah hutangnya terlunasi.
e.      Selanjutnya pada tahun berikutnya atau pada waktu yang telah disepakati bersama, dilakukan pula undian untuk memberangkatkan anggota berikutnya, sampai secara berangsur-angsur seluruh anggota Arisan diberangkatkan ke tanah suci guna melaksana-kan ibadah haji.[8]

B.     Hukum yang Tidak Memperbolehkan
Untuk mempertegas makna istitha'ah, para pakar hukum Islam (fuqaha') telah menerangkan di dalam kitab-kitab fiqih, bahwa jika seseorang yang belum memiliki kemampuan (istitha'ah) untuk melaksanakan ibadah haji ditawari hadiah Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) oleh lain, maka dia tidak wajib menerima hadiah tersebut.
Arisan Haji untuk membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) dengan tata cara sebagaimana disebutkan di atas atau yang serupa adalah dilarang oleh agama Islam, karena alasan-alasan sebagai berikut:
a.       Arisan Haji dengan pola sebagaimana disebutkan di atas atau sesamanya adalah sama dan tidak berbeda dengan berhutang kepada orang lain. sehingga memberatkan diri sendiri atau keluarga yang ditinggalkan jika ia wafat. Padahal Rasulullah SAW telah melarang seseorang berhutang atau meminjam uang kepada orang lain untuk membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH). Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Baihaqi:

عَنْ طَارِقٍ قَالَ سَمِعْتُ بْنَ أَبِيْ أَوْفَى يَسْأَلُ عَنِ الرَّجُلِ يَسْتَقْرِضُ وَيَحُجُّ قَالَ يَسْتَرْزِقُ اللهُ وَلاَ يَسْتَقْرِضُ قَالَ وَكُنَّا نَقُوْلُ لاَ يَسْتَقْرِضُ إِلاَّ أَنْ يًكُوْنَ لَهُ وَفَاءٌ
( رواه البيهقي)
 

"Sahabat Thariq berkata: Saya telah mendengar sahabat yang bernama Abdullah ibn Abi Aufa bertanya kepada Rasulullah SAW tentang seseorang yang tidak sanggup naik haji apakah dia boleh meminjam uang untuk menunaikan ibadah haji? Nabi menjawab:Tidak boleh. (HR Baihaqi)
Menurut Kitab Al-Muhadzdzab bahwa seseorang yang berharta lalu kuasa berhajji maka ia harus berhaji. Tapi orang yang berharta tetapi mempunyai hutang yang harus segera dibayar, maka baginya harus membayar hutangnya, dan tidak wajib berhaji. Berhaji seharusnya dan wajib dilaksanakan dengan perasaaan senang, dengan ketentuan mendahulukan membayar hutang daripada melaksanakan hajinya.[9]
b.      Arisan Haji dengan pola sebagaimana disebutkan di atas atau yang serupa mengandung unsur gharar (kesamaran dan ketidak-jelasan) karena tidak ada jaminan bahwa orang-orang yang telah memenangkan undian Arisan Haji mampu membayar lunas sisa arisan yang menjadi tanggungannya. Bagaimana jika orang-orang yang telah me-menangkan undian Arisan Haji tertimpa musibah seperti meninggal dunia atau bangkrut sehingga tidak mampu membayar sisa Arisan Haji yang menjadi tanggungannya? Apakah dapat dibebaskan sehingga mengakibatkan kerugian bagi anggota lain yang belum memperoleh kesempatan memenangkan undian? Atau dibebankan kepada keluarganya sehingga menimbulkan mudlarat bagi anggota keluarga yang tidak tahu menahu soal Arisan Haji? Sehubungan dengan hal itu, Rasulullah SAW  bersabda:

عَنْ عَمْرٍو بْنِ يَحْيَى اْلمَازِنِي عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ ضَرَرَ وَلاَضِرَارَ( رواه مالك


"Dari 'Amr bin Yahya al-Mazini dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW bersabda: (Seseorang) tidak boleh melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri atau merugikan orang lain",

c.       Pada hakikatnya, seseorang yang telah berhasil memenangkan undian Arisan Haji sehingga berhak menunaikan ibadah haji dengan biaya yang diperoleh dari uang arisan adalah berhutang uang kepada para anggota arisan lainnya. Pinjaman tersebut harus dibayar lunas, meskipun secara berangsur-angsur sesuai dengan aturan-aturan dalam arisan. Jika ia meninggal dunia atau jatuh bangkrut sebelum membayar lunas uang arisan, maka ia akan memikul beban hutang yang sangat berat. Karena hutang yang belum terbayar akan menjadi beban hingga di akhirat.
d.      Seseorang yang akan menunaikan ibadah haji harus membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH); mempunyai biaya hidup yang cukup selama berada di tanah suci; serta biaya keluarga yang ditinggalkan di tanah air dengan uang yang diperoleh secara halal, suci dan bersih dari segala sesuatu yang mengotorinya. Sebab jika uang tersebut diperoleh dari sumber yang tidak halal atau tidak suci dan tidak bersih, maka tidak akan diterima oleh Allah swt sehingga tidak akan meraih haji mabrur.
Dari uraian diatas, jelas bahwa kewajiban haji itu, hanya berlaku bagi orang yang sanggup membayar BPIH. Maka seorang muslim yang memaksakan dirinya untuk menunaikan ibadah haji, padahal ia tidak mampu, misalnya dengan cara mengikuti arisan haji dan ia mendapatkan uang arisan pada putaran–putaran awal, maka hukumnya minimal makruh bahkan bisa juga haram, karena ongkos hajinya itu berasal dari uang yang dipinjamkan oleh anggota arisan lainnya. Jadi ia berangkat haji dengan berhutang. Sementara ia sendiri belum terkena khitab wajib haji.[10]
3.      Hukum Haji Dengan Sistem MLM (Multi Level Marketing)
Pengertian Multi Level Marketing atau disingkat MLM adalah sebuah sistem pemasaran modern melalui jaringan distribusi yang dibangun secara permanen dengan memposisikan pelanggan perusahaan sekaligus sebagai tenaga pemasaran. Dengan kata lain, dapat dikemukakan bahwa MLM adalah pemasaran brjenjang melalui jaringan distribusi yang dibangun dengan menjadikan konsumen (pelanggan) sekaligus sebagai tenaga pemasaran.[11]
Sistem Multi Level Marketing (at-Taswieq Muta’addid ath-Thobaqaat) atau Network Marketing (at-Taswieq asy-Syabaki) yang beroperasi sesuai dengan Pyramid scheme (at-Tanzhim al-Harami). Jenis marketing seperti ini nampaknya merupakan rekayasa perniagaan (Business fraud).
Sistem pyramide/ Pyramid scheme ini telah mendapatkan perhatian serius dari para ulama dan juga pakar bisnis ekonomi dunia. Ternyata kesimpulannya banyak yang memperingatkan bahaya jenis bisnis ini karena berisi suatu yang memperdaya para pengikutnya, lalu menjadikan mereka memiliki kekayaan yang singkat dan cepat sebagai imbalan dari pembayaran yang sedikit dan terbatas. Namun akhirnya harta tersebut masuk semuanya kepada pemilik perusahaan dan bisnis ini. Sedangkan anggotanya tidak mendapatkan kecu.ali fatamorgana.
Oleh karena itu banyak sekali peraturan perundangan dari banyak Negara yang melarang sistem pyramid (Pyramid scheme) dengan semua bentuknya. Demikian juga perangkat resmi banyak Negara memperingatkan masyarakat dari terjerumus dalam perangkap jaringan bisnis seperti ini setelah dibungkus dengan bentuk yang sangat menarik dengan propaganda bahwa ini adalah kesempatan pemasaran produksi yang berguna bagi masyarakat, baik dalam bidang pendidikan atau lainnya.[12] An-Nisa’ ayat 29
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali demgan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Jakarta(Pinmas)–Direktur Pembinaan Haji Kementerian Agama Ahmad Kartono mengingatkan masyarakat agar tidak terpikat oleh penyelenggara ibadah haji atau umrah dengan sistem multi level marketing (MLM) atau sistem berantai. Karena sistem yang banyak berkembang belakangan ini memiliki potensi penipuan yang sering dimanfaatkan oknum yang tidak bertanggung jawab.
Ada pihak yang bisa berangkatkan umrah Rp 2,5 juta, haji Rp 5 juta dengan cara berantai. Menurut Ahmad Kartono, minat masyarakat untuk menunaikan ibadah umrah atau haji melalui MLM karena mereka terpikat oleh biaya yang murah dibanding dengan biaya haji atau umrah secara resmi. Padahal dengan cara berantai atau arisan ini lebih banyak orang yang kecewa.
Sementara itu, Ketua Umum HIMPUH (Himpunan Muslim Penyelenggara Umrah dan Haji) Baluki Ahmad menambahkan, saat ini ada pola atau modus baru sebuah biro perjalanan menggaet calon jamaah haji melalui cara MLM. ” Mereka mengumpulkan masyarakat dengan iming-iming biaya murah bisa pergi haji. Padahal travel ini tidak ada izinnya.
Baluki juga berharap agar masyarakat untuk tidak terbujuk travel yang menawarkan paket perjalanan haji dan umroh dengan biaya semurah mungkin. Sebab, saat ini sudah tidak masuk akal dengan melihat kondisi eksternal, seperti naiknya biaya penginapan, transportasi dan juga harga minyak mentah dunia.
MLM seperti money game. Ini masukan kita ke Kementerian Agama. Karena kami diayomi undang-undang, harus dapat perlindungan, jadi MLM janagan dibiarkan.[13]
Ketua Umum PP Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) H. Kurdi Mustofa mengimbau umat muslim agar tak tergiur menunaikan ibadah haji atau berumrah dengan memanfaatkan multilevel marketing (MLM). Selain dapat menyesatkan, juga menyalahi tuntunan cara beribadah dengan baik. "Berhaji itu harus istitoah.[14]
Beberapa pakar dan pengamat ada  yang berpendapat bahwa praktik yang dilakukan oleh perusahaaan MLM hukumnya haram, karena mengandung unsur perjudian dan ketidakpastian, sebagian yang lain memandang sebagai syubat.[15]

 IV.            KESIMPULAN
Secara sepakat para ulama mazhab menetapkan bahwa istitha’ah atau mampu itu merupakan syarat kewajiban haji, kebanyakan Ulama menafsirkan istitha’ah dengan mempunyai bekal haji dan biaya transportasi pulang pergi di samping nafkah untuk keperluan keluarga yang ditinggalkan.
Hukum haji dengan sistem arisan memiliki dua hukum, ada yang memperbolehkan dan ada pula yang melarangnya. Yang memperbolehkan jika:
a.       Setiap anggota Arisan harus menabung (membayar) uang dalam jumlah yang telah disepakati bersama untuk membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) yang ditetapkan oleh pemerintah.
b.      Setiap tahun pada saat pendaftaran calon jamaah haji mulai dibuka, maka dilakukan undian untuk mengetahui siapa saja anggota Arisan yang berhak menunaikan ibadah haji.
c.       Anggota Arisan yang berhasil memenangkan undian yang dalam undian arisan yang telah disepakati bersama, berhak menunaikan ibadah haji pada tahun itu.
d.      Selisih jumlah uang yang diterima oleh pemenang undian untuk membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) dengan jumlah uang tabungan yang disimpannya pada arisan, merupakan hutang (pinjaman) kepada para anggota arisan, dan hrus diangsur untuk melunasinya.
e.      Selanjutnya pada tahun berikutnya atau pada waktu yang telah disepakati bersama, dilakukan pula undian untuk memberangkatkan anggota berikutnya, sampai secara berangsur-angsur seluruh anggota Arisan diberangkatkan ke tanah suci guna melaksana-kan ibadah haji.
Dan yang tidal memperbolehkan jika:
a.       Arisan Haji adalah sama dan tidak berbeda dengan berhutang kepada orang lain. sehingga memberatkan diri sendiri atau keluarga yang ditinggalkan jika ia wafat. Padahal Rasulullah SAW telah melarang seseorang berhutang atau meminjam uang kepada orang lain untuk membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).
b.      Arisan Haji yang serupa mengandung unsur gharar (kesamaran dan ketidak-jelasan) karena tidak ada jaminan bahwa orang-orang yang telah memenangkan undian Arisan Haji mampu membayar lunas sisa arisan yang menjadi tanggungannya.
c.       Seseorang yang telah berhasil memenangkan undian Arisan Haji adalah berhutang uang kepada para anggota arisan lainnya. Meskipun secara berangsur-angsur sesuai dengan aturan-aturan dalam arisan. Jika ia meninggal dunia atau jatuh bangkrut sebelum membayar lunas uang arisan, maka ia akan memikul beban hutang yang sangat berat. Karena hutang yang belum terbayar akan menjadi beban hingga di akhirat.
d.      Seseorang yang akan menunaikan ibadah haji harus membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH); mempunyai biaya yang diperoleh secara halal, suci dan bersih dari segala sesuatu yang mengotorinya. Sebab jika uang tersebut diperoleh dari sumber yang tidak halal atau tidak suci dan tidak bersih, maka tidak akan diterima oleh Allah swt sehingga tidak akan meraih haji mabrur.
e.       Kewajiban haji itu, hanya berlaku bagi orang yang sanggup membayar BPIH. Maka seorang muslim yang memaksakan dirinya untuk menunaikan ibadah haji, misalnya dengan arisan haji dan ia mendapatkan uang arisan pada putaran–putaran awal, maka hukumnya minimal makruh bahkan bisa juga haram, karena berasal dari uang yang dipinjamkan oleh anggota arisan lainnya. Jadi ia berangkat haji dengan berhutang. Sementara ia sendiri belum terkena khitab wajib haji.
Hukum haji dengan sistem MLM (Multi Level Marketing). Beberapa pakar dan pengamat ada  yang berpendapat bahwa praktik yang dilakukan oleh perusahaaan MLM hukumnya haram, karena mengandung unsur perjudian dan ketidakpastian, sebagian yang lain memandang sebagai syubat.





















DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Waardi Muslich, Fikih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010)

Djamaluddin Miri, Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, (Surabaya: LTN NU Jawa Timur dan Diantama, 2004)

http://koranmuslim.com/2011/masyarakat-agar-tidak-terpikat-haji-atau-umrah-mlm/
http://ppnuruliman.com/artikel/fikih/402-hukum-arisan-dalam-islam.html
http://ustadzkholid.com/tanya-ustadz/fiqih-tanya-ustadz/ongkos-naik-haji-dengan-sistem-mlm/
http://www.e-infad.my/i- fms/index.php?option=com_fatwa&task=viewlink&link_id=2958&Itemid=48
http://www.mail-archive.com/keluarga-islam@yahoogroups.com/msg16296.html
http://www.tempointeraktif.com/hg/wartahaji_tips/2011/09/30/brk,20110930-359197,id.html
Husein Bahreis,, Himpunan Fatwa,  (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987)

Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1991)

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzhab, (Jakarta: Lentera, 2001)

Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999)


[1] http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--wahyurinau-3793
[2] Muhammad Jawad Mughniyah,  Fiqih Lima Mahzhab,  (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 206
[3] Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1991), hlm. 283
[4] http://www.mail-archive.com/keluarga-islam@yahoogroups.com/msg16296.html
[5] Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm. 57
[6] http://ppnuruliman.com/artikel/fikih/402-hukum-arisan-dalam-islam.html
[7] Djamaluddin Miri, Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, (Surabaya: LTN NU Jawa Timur dan Diantama, 2004), hlm. 431
[8] http://www.e-infad.my/i- fms/index.php?option=com_fatwa&task=viewlink&link_id=2958&Itemid=48

[9] Husein Bahreis,, Himpunan Fatwa,  (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987), hlm. 255
[10] Ibid.,
[11] Ahmad Waardi Muslich, Fikih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 613
[12] http://ustadzkholid.com/tanya-ustadz/fiqih-tanya-ustadz/ongkos-naik-haji-dengan-sistem-mlm/
[13] http://koranmuslim.com/2011/masyarakat-agar-tidak-terpikat-haji-atau-umrah-mlm/
[14] http://www.tempointeraktif.com/hg/wartahaji_tips/2011/09/30/brk,20110930-359197,id.html
[15] Ahmad Waardi Muslich, Op.Cit., hlm. 619